Manusia Terakhir di Bumi yang Punya Akun Instagram !!



Sebagai salah satu murid terpandai di kelas (ehm!) saat duduk di bangku SMP, aku punya ingatan yang sangat kuat. Aku selalu mengatakan kembali hal itu kepada teman-temanku ketika dewasa, bukan sebagai sebuah kebanggaan --apalagi kesombongan (naudzubillahi min dzalik)-- melainkan justru sebagai semacam keluhan. Bukan soal murid terpandai itu, tapi maksudku terutama soal ingatan yang kuat. Kau tahu, ingatan yang selalu melekat di kepala membuatmu susah menerima hal baru. Dalam beberapa hal, apa yang kau ingat adalah kebenaran.

Waktu SMP, aku menyukai pelajaran Biologi. Guru mata pelajaran Biologi kami, Bu Fatimah, adalah jenis dari sangat sedikit guru yang layak dicintai dan dikenang. Maksudku, aku tidak meremehkan para guru, tapi jujur saja, sebagian dari guru kita di masa lalu kita benci seumur hidup, atau minimal kita kenang dengan cara yang buruk. (Maafkan kami, guru!). Bu Fatimah mengajar dengan kelembutan seorang ibu pada anak-anaknya. Ia murah senyum, dan cukup humoris untuk ukuran seorang guru mata pelajaran eksakta yang biasanya bercitra angker. Kurasa aku menyukai pelajaran Biologi gara-gara cara dia mengajar. 

Suatu hari kami diminta membawa sebotol air comberan. Pada hari lain, kami diminta membawa tempe. Apa-apaan ini! Tapi, ternyata, semua itu membawa kami ke dalam suatu kejaiban. Kami digiring ke laboratorium, dan untuk pertama kalinya melihat dan menyentuh benda yang namanya mikroskop. Di bawah mikroskop, dilihat dengan satu mata terpejam berkedip-kedip, setetes air comberan yang diletakkan di atas penampung kaca, dan jamur tempe --bagian selaput putih yang menyelimuti kedelai--mengantarkan kami ke dunia yang menakjubkan. 

Di bawah mikroskop, kami melihat apa yang tak bisa bisa kami lihat dengan mata telanjang pada benda-benda di sekeliling kami sehari-hari. Bu Fatimah benar-benar seolah-olah mengajak kami tamasya ke dunia lain. Tapi, yang sebenarnya paling kuingat darinya adalah cetelukan-celetukannya ketika sedang menjelaskan suatu tema tertentu di depan kelas. Ia membahas setiap topik pelajaran dengan memberikan contoh-contoh dari kehidupan keseharian yang familier, dan memperluasnya ke dalam cakrawala pemahaman yang mudah kami terima. Misalnya, ketika tengah menjelaskan soal anatomi binatang, ia bisa tiba-tiba melontarkan pertanyaan, kenapa kita suka makan ceker ayam? Lalu, ia menjelaskan, karena di kulit bagian ceker itu terdapat jaringan tertentu membuat rasanya jadi enak, dan oleh karenanya kita sukai. 

Lalu, contoh lain, diberikan lewat pertanyaan yang lebih menggelitik: kenapa orangtua kita melarang anak-anaknya makan brutu --dengan menciptakan "mitos" bahwa makan brutu bisa bikin orang jadi pelupa? Kata Bu Fatimah, karena sebenarnya di bagian pantat ayam tersebut terkandung minyak yang membuat rasanya menjadi sangat lezat --mungkin bagian paling lezat dari seluruh daging ayam. Itulah sebabnya, orangtua kita ingin memonopolinya dengan mengarang cerita bohong. Murid-murid pun tertawa. 

Pada kali lain, ia melontarkan pertanyaan, ketika menjelaskan bab yang lain tentang anatomi tubuh manusia, kenapa keramas setiap hari justru tidak baik bagi rambut? Kemudian dijelaskannya bahwa rambut kita memproduksi minyak alami yang menyehatkan, sehingga kalau kita keramas tiap hari, minyak itu (yang membuat rambut kita "lepek") tidak sempat muncul, sehingga kesehatan rambut kita justru terganggu. Penjelasan tersebut begitu tertanam di kepalaku, sehingga sejak itu, aku jadi jarang keramas. Ketika belakangan, di era televisi, iklan sampo membombardir kita bertubi-tubi dan meyakinkan kita bahwa keramas tiap hari tidak masalah, aku tetap lebih percaya pada omongan Bu Fatimah. 

Sejujurnya, aku merasa beruntung pernah punya seorang guru seperti itu. Secara umum, ia telah ikut membentuk diriku di kemudian hari, menjadi diriku seperti sekarang ini. Aku menjadi orang yang tak mudah percaya pada informasi baru, lebih-lebih yang tidak didasarkan pada ilmu pengetahuan. Hal itu tak selalu menguntungkan memang, tapi menjadi skeptis pada hal-hal baru juga tak pernah kurasakan merugikan. Aku hanya harus menyadarinya, dan memanfaatkannya secara positif.

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa meramalkan masa depan, dan itu kadang-kadang mengurangi sikap kritis kita. Bayangan tentang masa depan sering justru membuat kita jadi rapuh, penuh was-was, dan mudah mengkhawatirkan hal-hal yang sebenarnya "belum nyata". Masa depan menakut-nakuti kita dengan berbagai prediksi dan ramalan. Bahwa misalnya kita nanti akan hidup bersama robot-robot, banyak pekerjaan kita yang digantikan oleh mesin, dan banyak hal yang kini kita anggap penting menjadi tidak relevan lagi. 

Tentu saja, sebagian dari ramalan itu memang ada benarnya, dan sebagian benar-benar telah terjadi. Namun, kita cenderung menutupi fakta lain yang sama nyatanya bahwa banyak hal dalam hidup ini yang tak pernah berubah sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu. Kita masih makan pakai garpu, "alat canggih" dari zaman Romawi, duduk di kursi, sebuah temuan dari zaman Mesir Kuno, dan jangan bilang Anda tak tahu sejarah celana jins yang kita pakai, yang hingga kini menjadi andalan penampilan kita.

Kita, sejauh ini, juga masih mendengarkan radio -minimal saat berkendara. Apa artinya? Bahwa apa yang ada dalam kehidupan ini sebagian besar adalah hal-hal yang sama yang telah bertahan selama bertahun-tahun. Tentu saja perubahan selalu ada, tapi tidak perlu membuat kita menjadi "maniak" dan "pananoid". Banyak orang silau dengan hal-hal baru, yang hanya menggoda untuk sesaat. Hari ini kita merasa tak bisa hidup tanpa i-phonedan berbagai aplikasi yang memudahkan hidup kita. Faktanya, yang benar-benar kita butuhkan tidak pernah berubah dari zaman dulu. Kita tetap saja manusia yang gemar mengumpulkan barang-barang, merasa nyaman ketika kulkas kita penuh --kita masih sama dengan leluhur kita di zaman berburu dan mengumpulkan dulu. 

Ketika es kepal milo "booming", di dekat rumahku di Pondok Labu segera bermunculan kedai-kedai baru seperti ilalang di semak basah yang subur. Tapi, tak sampai hitungan bulan, semuanya menghilang seolah-olah tak pernah ada sebelumnya. Hal yang sama terjadi pada bisnis kuliner secara umum. Sebuah harian nasional, pada suatu edisi Minggu memuat laporan dengan judul Pemenangnya adalah Ayam Geprek, untuk menggambarkan tren saat ini. Kita tunggu saja, apakah ia akan punya daya hidup dan napas panjang seperti telah ditunjukkan oleh soto, bakso, mie ayam, dan tahu kupat, atau bahkan pecel lele yang sudah terbukti tangguh.

Aku bukan anti-teknologi ataupun anti-inovasi. Tapi barangkali aku akan selalu menjadi orang terakhir. Sekali lagi, ini bukan kebanggaan karena memang bukan prestasi atau pencapaian. Aku hanya ingin meyakinkan diriku sendiri, dan menguji sejauh mana, aku bisa menjalani hidup ini dengan caraku sendiri, dengan segala yang telah kuyakini. Selalu ada cara lain, sudut pandang lain, yang tak harus sama dengan semua orang. Bukan untuk gaya-gayaan atau keren-kerenan, juga bukan semata agar berbeda -kita tak serta merta menjadi istimewa hanya karena berbeda atau melawan arus. 

Jika kau punya sebuah keyakinan yang sudah lama tertanam dalam benakmu, dan dalam batas tertentu menjadi bagian dari cara hidupmu, maka itu artinya ada sesuatu yang bernilai di balik itu. Jika sesuatu tak lekang dimakan zaman, maka sesuatu itu sangat berharga, dan akan terus berguna di masa depan. Ada logika dan kekuatan yang melekat pada keyakinan-keyakinan lama itu, yang memberi petunjuk pada cara kita menerima berbagai realitas dan menyikapi perubahan, walaupun kita tak selalu memahaminya.

Seorang teman pernah mengecek, aplikasi apa saja yang ada di HP-ku dan dia geleng-geleng kepala. Di situ antara lain hanya ada aplikasi ojek online --maaf, tidak ada aplikasi untuk mencari teman kencan semalam-- itu pun belum lama ku-donwload dan jarang sekali kugunakan. Di grup WA kami yang hanya beranggotakan 4 orang, aku kerap di-"bully" karena selalu ketinggalan informasi tentang aktivitas dan pacar terbaru Awkarin, atau aksi brilian apa lagi yang telah dilakukan oleh Cawapres Sandiaga Uno. "Makanya, punya Instagram dong!" atau, "Beneran deh, kamu harus install Instagram sekarang juga!" kata teman-temanku, diketik dengan capslok.

Tak ada yang sulit, dan tak ada yang menghalangiku sebenarnya untuk membuat akun di Instagram. Tapi, entahlah, sampai saat ini aku merasa cukup hanya dengan Twitter dan Facebook, dan itu pun mulai mengurangi intensitasku berinteraksi dengan orang lain. "Mungkin aku akan menjadi manusia terakhir di bumi yang punya akun Instagram," selorohku dengan emoticon sedih, berlagak terzalimi dan pasrah ketika teman-temanku untuk kesekian kalinya dan terus-menerus mendesakku --"Biar kami nggak seperti berkomunikasi dengan kakek-kakek," kata salah seorang dari mereka dengan kejam.

Aku jadi teringat, salah satu bude-ku dulu selalu bilang, "Aku timbang roti pilih pohung." Bude-ku mungkin juga orang terakhir, dari generasinya, yang "menolak" roti dan lebih suka singkong rebus. Generasi itu telah lewat; anak-anak sekarang jelas pilih roti. Tapi ingat, sate brutu dan bacem ceker ayam tak pernah absen dari tempat-tempat "wedangan" di kota-kota di Jawa, baik yang berkonsep lama sebagai "angkringan" yang bertebaran di setiap ujung gang kampung hingga yang berkonsep kafe modern yang glamor di pusat keramaian anak muda. Dalam hal apapun --teknologi, bisnis, kuliner, fashion-- jangan mudah silau dengan hal baru. Waktu akan membuktikan, mana tren --atau bahkan hanya "gimmick"-- dan mana yang benar-benar pengubah permainan --pengubah dunia dan kehidupan. 

Lihatlah selalu dengan kepekaan seperti ketika kita memicingkan mata ke dalam lubang di balik lensa mikroskop. Sehingga tampak bahwa ada kehidupan yang sangat renik di dalam setetes air comberan, dan di balik sayatan tipis jamur tempe kau bisa menyaksikan "sekuntum" Rhizopus oryzae yang sedang mekar dan menebarkan sporangium-nya. Keajaiban ada di sekitar kita, pada hal-hal yang sejak dulu kita akrabi, namun sudah agak lama kita lupakan, karena kita lebih senang dengan berbagai ramalan masa depan --tamasya ke luar angkasa, migrasi ke Mars, mengkonsumsi segalanya dalam bentuk pil-- atau hal-hal yang lebih mementingkan inovasi yang hanya mengejar popularitas sesaat, dan "alat canggih" terbaru. Kita meremehkan teknologi tradisional, hal-hal lama dan kuno, yang telah membuktikan dirinya tak tergantikan.

Hari ini, kita mungkin sudah lupa bahwa pada beberapa tahun yang belum lama berlalu ada tempat nongkrong asyik dan murah meriah bernama 7-Eleven. Dan, dalam waktu yang lebih singkat lagi, kita sudah lupa pernah ada es kepal milo yang menghebohkan, dengan kisah suksesnya yang gilang-gemilang. Kembalilah ke es cendol. Jangan percaya iklan sampo. Keramaslah sejarang mungkin.

DIkutip dari : DETIKNEWS